Kamis, 08 Desember 2011

kepemimpinan wanita


Tugas kelompok
Nama : Nur Syahidah & Rukmanasari
Nim   :30600109034 & 30600109032
Tema  : Perempuan Kepala Negara
          (Sebuah kajian hadis)  


 

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pada zaman jahiliyah, kaum perempuan tidak mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki bahkan perempuan lebih hina daripada sampah. Orang tua merasa malu jika melahirkan bayi perempuan, maka mereka segera mengubur hidup-hidup bayi tersebut karena dianggapnya sebagai pembawa sial. Tidak hanya itu, perempuan juga dijadikan sebagai harta waris yang bisa diwariskan kepada anak bahkan dijual kepada orang lain jika suaminya sudah bosan terhadapnya.
Pada zaman Rasulullah SAW, perempuan diangkat derajatnya oleh Islam. Salah satu buktinya yaitu perempuan dijadikan sebagai salah satu nama surah dalam Al-Quran yakni surah an-Nisa’. Sedangkan dalam hadis, Rasulullah menyatakan bahwa kita harus menghormati atau memuliakan ibu (perempuan) tiga kali dibandingkan ayah (laki-laki). Selain itu, perempuan juga diizinkan untuk turut serta dalam perang. Kaum perempuan bertugas untuk merawat pasukan yang terluka.
Di zaman modern ini, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu pengetahuan dan berkiprah dalam dunia publik. Namun, adanya teks-teks normatif memberikan beberapa interpretasi tentang boleh tidaknya kaum perempuan berkiprah dalam urusan publik.
Sehubungan dengan hal itu, timbul pertanyaan, “Apakah perempuan dapat menjadi kepala negara dan bagaimana hal tersebut jika ditinjau dari segi perspektif hadis?” pertanyaan tersebut akan terjawab setelah kita menganalisa isi makalah ini.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kami selaku penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana perempuan sebagai kepala negara dalam perspektif hadis?
2.      Bagaimana syarah hadis tentang perempuan sebagai kepala negara?














BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hadis Tentang Perempuan Sebagai Kepala Negara
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )[1]

B.   Terjemahan
Usman ibn al-His\am menceritakan kepada kami, ‘Auf menceritakan kepada kami dari H{asan dari Abi> Bakrah berkata: Allah telah memberiku manfaat dengan kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Pada perang Jamal setelah setelah saya hampir ikut serta dalam perang jamal lalu berperang bersama mereka. Abi> Bakrah berkata: Ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW bahwa penduduk Persia telah mengangkat bintu Kisra sebagai ratu. Rasulullah bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum jika mereka dipimpin oleh seorang wanita.”

C.   Asba>b al-Wuru>d
Adapun asba>b al-wuru>dnya yaitu ketika Nabi SAW mendengar berita dari salah seorang sahabat tentang pengangkatan seorang ratu di Persia yang bernama Buwaran binti Syairawaih ibn Kisra. Buwaran diangkat menjadi ratu karena semua saudara laki-lakinya terbunuh dalam perebutan kekuasaan. Sedangkan keluarga kerajaan tidak ingin kekuasaan lepas dari keturunan raja-raja sebelumnya. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 9 H.[2]
Sedangkan alasan periwayatan Abi> Bakrah terhadap hadis ini adalah peristiwa al-jamal[3] di mana Aisyah, Talhah, dan al-Zubair sepakat pergi ke Basrah untuk mengajak orang-orang menuntut kematian Usman ibn Affan kepada pemerintah yang berkuasa yaitu khalifah Ali ibn Abi Thalib agar melaksanakan hukum qis}a>s} terhadap pembunuh Usman.[4] Kemudian Abi Bakrah tidak mau bergabung dengan Aisyah dan pasukannya meskipun Abi Bakrah sependapat dengan Aisyah dalam perang al-jamal karena hadis di atas sehingga Abi Bakrah memutuskan untuk tidak ikut campur dalam perang al-jamal.[5]

D.  MAKNA MUFRADAT

لن      : huruf yang menas}abkan fi’il dan fungsinya meniadakan[6]
 يفلح   :bertani, memberdayakan, membelah, mengejek, membelah, menceraikan, membajak, sukses, keselamatan, dan. sahur.[7] teks hadis ini mengatakan tidak akan beruntung, tidak sampai sebuah ancaman, dari tek inilah kami memprediksi adanya ulama’ yang membolehkan seorang wanita boleh menjadi pemimpin asalkan bukan pada posisi tertinggi.
قوم     : kumpulan manusia.[8] Tidak terikat pada orang muslim saja, dengan  kata lain hadis ini umum untuk manusia secara fisik, dari teks ini pulalah kami memprediksi adanya ulama’ yang melarang seorang wanita menjadi pemimpin secara mutlak.
 ولوا    : mengurus, dekat, menguasai, mencintai, menolong, mempercayai, berbuat baik, berhak, pantas, tuan, teman, sekutu, sahabat, tetangga, dan tamu.[9]
  امرأة  : berasal dari huruf mim, ra’, dan hamzah bentuk ta’nis dari kata امرئ yang berarti seseorang.[10]

E.   Pemahaman Hadis (Teks dan Konteks, Dalil Aqli dan Naqli, Pandangan Ulama dan Metode Pendekatannya)

a.    Pandngan Ulama’ Klasik
Jumhur ulama memahami hadis tersebut secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan pernyataan hadis tentang pengangkatan Buwaran binti Syairawaih sebagai ratu atau kepala negara maka kaum perempuan dilarang menempati posisi sebagai kepala negara, hakim pengadilan, dan berbagai jabatan politik lainnya. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa perempuan menurut syara’ hanya bertanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Oleh karena itu, al-Khat}t}a>bi menyatakan bahwa perempuan tidak sah menjadi khali>fah atau pemimpin.[11] Sebagaimana hadis
صحيح البخاري - (ج 2   ص 848(
 2278 - حدثنا أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الزهري قال أخبرني سالم بن عبد الله عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما  : أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( كلكم راع ومسؤول عن رعيته فالإمام راع وهو مسؤول عن رعيته والرجل في أهله راع وهو مسؤول عن رعيته والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسؤولة عن رعيتها والخادم في مال سيده راع وهو مسؤول عن رعيته ) . قال فسمعت هؤلاء من رسول الله صلى الله عليه و سلم وأحسب النبي صلى الله عليه و سلم قال ( والرجل في مال أبيه راع وهو مسؤول عن رعيته فكلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته )
Al-Syauka>ni menafsirkan pula hadis tersebut, beliau menyatakan bahwa perempuan tidak ahli dalam hal kepemimpinan sehingga tidak boleh menjadi kepala negara.[12] Sementara ulama lainnya, seperti ibn Hazm dan al-Ghaza>li meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara.
Selain itu, ada juga ulama yang menyatakan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin atau kepala negara karena ia kurang atau lemah akalnya sedangkan kepemimpinan membutuhkan kekuatan besar untuk mengatur dan mengurus umat yang tidak sedikit dan wanita adalah aurat sehingga ia tidak layak menjadi pemimpin maupun hakim.[13] Berikut ada beberapa dalil aqli maupun naqli sebagai penguat pernyataan-pernyataan di atas:[14]

1.       Tidak ada Nabi dan Rasul wanita
 (Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)
dalilnya lihat :
öqs9ur çm»uZù=yèy_ $Z6n=tB çm»oYù=yèyf©9 W……xã_u ÇÒÈ  
9. Dan kalau Kami jadikan Rasul itu dari malaikat, tentulah Kami jadikan Dia seorang laki-laki (Qs.al-An’aam 6:9)[15]
!$tBur $uZù=yör& `ÏB šÎ=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR NÍköŽs9Î) ô`ÏiB È@÷dr& #tà)ø9$# 3
109. Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri. (Qs. Yusuf 12:109)[16]
!$tBur $uZù=yör& šn=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) ( (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ò2Ïe%!$# bÎ) óOçFZä. Ÿw šcqßJn=÷ès? ÇÐÈ  
7. Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (Qs. Al-Anbiyaa’ 21:7)[17]

2.      Hadist :
Hadist diatas (pembahasan utama) memang diucapkan oleh Rasul ketika menanggapi kabar dipilihnya seorang wanita, puteri Anusyirwan dari Persi, menjadi pemimpin. Akan tetapi coba perhatikan konteks sabda tsb tidak menyebut bahwa ucapan tsb hy berlaku bagi kerajaan Persi, namun suatu gambaran umum tentang tidak layaknya wanita dijadikan pemimpin dalam suatu bangsa.

b.              Pandangan Ulama’ Kontemporer
Adanya larangan wanita menjadi pemimpin atau kepala negara disinyalir atau diinterpretasi sebagian ulama yang berlandaskan pada nas Al-Quran bahwa laki-laki adalah pemimpin kaum wanita. Mereka berpegang pada surah an-Nisa’: 34 yang berbunyi:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (kaum laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk mnyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”[18]

Sebagian ulama kontemporer memberikan pandangan yang berbeda mengenai ayat ini. Alasan-alasan yang diajukannya antara lain: pertama, ayat ini berbicara tentang wila>yah domestik sehingga tidak bisa menjadi dasar bagi kepemimpinan perempuan yang berada di wila>yah publik. Kedua, ayat ini tidak bersifat normatif tetapi bersifat informatif tentang situasi dan kondisi masyarakat Arab saat itu sehingga tidak memiliki konsekuensi hukum. Ketiga, karena ada sejumlah ayat lain yang mengindikasikan kebolehan kepempinan perempuan seperti dalam surah at-Taubah ayat 71
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ  
71. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Yang memberikan hak wila>yah kepada perempuan atas laki-laki. Kata “wila>yah” bisa berarti penguasaan, kepemimpinan, kerja sama, dan tolong-menolong. Keempat, “rija>l” dalam ayat ini tidak berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi sifat maskulinitas yang bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan.[19]
Ulama kontemporer berusaha memahami hadis ini secara konteks, hal ini dikarenakan jika dilihat secara langsung terdapat pemahaman yang seakan-akan kontradiktif sehingga membutuhkan sinkronisasi pemahaman. Sebelumnya perlu dikaji terlebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakan atau pemahaman secara historis atau melihat asba>b al-wuru>d sebuah hadis. Hadis tersebut disabdakan tatkala Nabi mendengar penjelasan dari sahabat beliau tentang pengangkatan wanita menjadi ratu di Persia. Buwaran diangkat menjadi ratu untuk menggantikan ayahnya yang sudah meninggal karena saudara laki-lakinya telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan. Buwaran diangkat menjadi ratu karena keluarga kerajaan tidak ingin kekuasaan berpindah ke tangan orang lain yang bukan keturunan raja sebelumnya. Hal ini kontra dengan tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu bahwa lazimnya yang diangkat menjadi kepala negara adalah seorang laki-laki.
Kakek Buwaran bernama Kisra bin Barwaiz bin Anusyirwan. Kisra pernah dikirimi surat ajakan memeluk Islam oleh Rasulullah SAW. Dia menolak ajakan tersebut, bahkan merobek-robek surat yang dikirimkan kepadanya. Ketika Rasulullah SAW menerima laporan tersebut maka beliau pun bersabda: “Siapa saja yang telah merobek surat beliau maka akan dirobek pula diri dan kerajaan orang tersebut.” Tidak berselang lama, kerajaan Persia pun dilanda kekacauan dan keluarga dekat kepala negara melakukan beberapa aksi pembunuhan.[20]
Pada waktu pengangkatan Buwaran menjadi ratu, derajat perempuan dalam masyarakat Persia pada saat itu di bawah laki-laki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat dan negara.  Perempuan pada saat itu, hanya bertugas mengurus keluarga dan tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk menangani masalah publik. Hanya laki-lakilah yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di jazirah Arab dan lain-lain. Dalam kondisi kerajaan Persia dan setting sosial seperti itulah maka wajar saja Rasulullah SAW yang memiliki kearifan tinggi melontarkan hadis bahwa “Bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sukses.”[21]
Di samping itu, mereka juga berpendapat bahwa ketika Nabi bersabda demikian, beliau tidak dalam kapasitas sebagai nabi atau rasul. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa beliau menyampaikannya dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa atau sebagai pribadi yang menginformasikan realitas sosial pada saat itu dan untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi jika kepemimpinan diserahkan kepada perempuan.
Sebagian ulama kontemporer mengemukakan kebolehan kaum perempuan menjadi pemimpin. Namun, perempuan dapat memimpin jika memiliki kemampuan dan keahlian yang sama dengan laki-laki. Syuhudi Ismail misalnya, beliau berpendapat bahwa ketika perempuan telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya perempuan dipilih dan diangkat menjadi pemimpin.
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu As-syifa’ al-Ans}a>riah sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah (kalau sekarang ini mungkin bisa disetarakan dengan kedudukan menteri ekonomi).
Dengan beberapa argumen yang dinyatakan oleh ulama kontemporer di atas, dapat dipahami bahwa hadis mengenai larangan perempuan menjadi pemimpin atau kepala negara tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i bagi seorang pemimpin. Nabi SAW hanya merespon pengangkatan ratu Persia. Namun, ada beberapa hal yang menjadi kemungkinan jika hal ini dikaitkan dengan pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan menjadi kepala negara karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat.[22] Padahal, kepala negara harus memiliki keahlian dan kewibawaan atau dihormati oleh masyarakatnya.
Oleh karena itu, hadis di atas harus dipahami secara kontekstual karena memiliki sifat temporal, tidak universal. Hadis tersebut hanya mengungkap fakta tentang kondisi sosial pada saat  hadis tersebut disabdakan dan hanya berlaku untuk kasus negara Persia saja dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah ketentuan syariat bahwa syarat pemimpin harus laki-laki. Dengan demikian, perempuan bisa menjadi pemimpin asalkan bukan pada level pemimpin yang memiliki otoritas mutlak yang membutuhkan syarat laki-laki seperti imam shalat.
 Namun, harus dipahami bahwa perempuan harus mengingat batasan-batasannya serta tetap menjaga kemaslahatan.[23]




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Hadis mengenai perempuan sebagai pemimpin atau kepala negara tersebut adalah berstatus shahih karena diriwayatkan oleh imam al-Bukhari.
2.      Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadis tentang perempuan sebagai pemimpin atau kepala negara. Ulama yang memahami secara tekstual maka perempuan dilarang menjadi pemimpin dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Sedangkan ulama yang memahami secara kontekstual dengan melihat latar belakang Nabi bersabda demikian dan kondisi masyarakat pada saat itu, maka zaman sekarang ini, tidak mengapa jika perempuan menjadi pemimpin selama ia mempunyai kapabilitas dan kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki untuk menangani masalah publik dan masyarakat mau menerima perempuan tersebut sebagai pemimpin atau kepala negara. Akan tetapi, perempuan harus lebih mengutamakan perannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga suaminya sebelum terjun ke dalam dunia politik. 

B.   Implikasi
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, kami selaku penulis mengharapkan masukan baik berupa saran maupun kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah selanjutnya.





DAFTAR PUSTAKA

Abu>> al-H{usain, Ah{mad bin fa>ris, Maqa>yi>s al-Lugah.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Bari Syarah al-Bukhari, Juz. XIII, (Dar al-Ma’rif: Beirut, 1379 H).
Al-Bukhari, Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Ismail. S}ah}i>h{ al-Bukha>ri, Juz. IV (Cet. III; Bairut: Dar ibn Kasir, 1407 H/1987 M).
Al-Manawi ,  Abd al-Rauf. Faid al-Qadir, Juz. V (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H/ 1994 M).
Al-Murakfuri, Muhammad Abd al-Rahman. Tuhfah al-Ahwasi, Juz. VI, (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, t.th)
Al-Sa’idi,  Hazim Abdul Muta’ali. Al-Nazariyah al-Islamiyyah fi al-Daulah (Cet. I; Kairo: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1397 H/1977 M).
Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad. Nail al-Authar, Juz VII (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.th).
Depag, Al-Quran dan Terjemahan
Dikutip dari situs internet http://www.acehinstitute.org.
Dikutip dari www.index.php.com. Posted 15 september 2011
Dikutip dari situs internet WordPress.com oleh Arman pada 05/07/2009
Ibn manz{ur, Lisa>nul ‘arab, (Da>r as}-S}adi>r: Bairut).
Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual  “Hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang berkembang” (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994).



[1] Abu>> ‘‘Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukha>ri, S}ah}i>h{ al-Bukha>ri, Juz. IV (Cet. III; Bairut: Da>r ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M), h. 1610.
[2]  Muhammad ‘‘Abd al-Rah}ma>n al-Murakfuri, Tuh}fah al-Ahwasi, Juz. VI, (Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah: Beiru>t, t.th), h. 447.
[3] Disebut perang al-jamal karena pada waktu itu Aisyah menunggang kuda dalam menghadapi Ali ibn Abi Thalib.
[4]  Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Murakfuri, op.cit.
[5] Ibn Hajar al-’Asqalani, Fath al-Bari Syarah al-Bukhari, Juz. XIII, (Da>r al-Ma’a>rif: Beiru>t, 1379 H), h. 56.
[6] Ibn manz{ur, Lisa>nul ‘arab, (Da>r as}-S}adi>r: Bairut), juz 13, hal. 392
[7] Ibid, juz 2, hal. 547
[8] Abu>>> al-H{usain Ah{mad bin fa>ris, Maqa>yi>s al-Lugah. Juz 5, hal. 35
[9] Opcit, Ibn manz{ur, juz 15, hal. 405
[10] Opcit, Ibn manz{ur, juz 1, hal. 154
[11]  Lihat Ibn Hajar al-’Asqalani, op.cit., Juz. VII, h. 128.
[12] Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syauka>ni, Nail al-Autha>r, Juz VII (Mesir: Must}afa> al-Ba>bi al-Halabi, t.th), h. 298.
[13] ‘Abd al-Rauf al-Manawi, Faid al-Qadir, Juz. V (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H/ 1994 M), h. 386.
[14] WordPress.com oleh Arman pada 05/07/2009
[15] Depag, Al-Quran dan Terjemahan
[16] Ibid,
[17] Ibid
[18] Depag, Al-Quran dan Terjemahan
[19] Dikutip Da>ri www.index.php.com. Posted 15 september 2011
[20] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual  “Hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang berkembang” (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 64.
[21] Ibid, h. 66
[22] Dikutip Da>ri situs internet http://www.acehinstitute.org.
[23] Lihat kitab Hazim ‘Abdul Muta’ali al-Sa’idi, al-Nazariyah al-Islamiyyah fi al-Daulah (Cet. I; Kairo: Da>r al-Nahdah al-Arabiyyah, 1397 H/1977 M), h. 195.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar