Rabu, 09 Mei 2012

hadis fi'liyah dan tarkiyah


 BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang Masalah
Dipertemuan yang lalu telah kita ketahui bersama apa yang disebut sunnah, terlepas dari perbedaan Ulama’ mendefenisikan apa itu sunnah satu hal yang pasti yakni  sunnah  itu berasal dari Rasul saw, tapi apakah semua hal yang baik, pernah dilakukan Rasul?
Dalam membumikan sunnah tidaklah cukup melaksanakan semua hal yang baik tapi mengetahui apakah hal baik “baik menurut perorangan” tersebut pernah dilakssanakan Rasul atau tidaknya, utamanya dalam hal ibadah.
Jangan sampai hal baik yang dilakukan yang disangka merupakan sunnah Rasul malah sesuatu yang ditinggalkan Rasul, kalau sesuatu yang dianggap baik tersebut berupa ibadah maka sungguh apa yang dilakukan tersebut merupakan bid’ah.[1]
Dalam istilah hadis yang membahas sunnah yang ditinggalkan Nabi saw dikenal dengan sunnah tarkiyah, pada kesempatan ini penyusun akan membahas apa itu sunnah fi’liyah dan sunnah tarkiyah.
B.                 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas halyang perlu dibahas dalam makalah ini ada beberapa poin:
a.       Defenisi sunnah fi’liyah dan tarkiyah
b.      Bagaimana menanggapi sunnah tarkiyah



BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pembagian Sunnah
Pada pertemuan pertama telah dijelaskan defenisi sunnah oleh karenanya pada makalah ini langsung dijelaskan kata fi’liyah dan tarkiyah, dan sebelum dijelaskan kedua kata tersebut, perlu kiranya dibahas pembagian sunnah tersebut.
Para Ulama’ berbeda dalam membagi sunnah itu sendiri namun pada garis besarnya ada 3 pembagian yang umum didengar, yakni membaginya dengan 5 dan 2 dan 3. Yang membaginya lima terdiri dari:
a)      Sunnah fi’liyah (perbuatan Nabi saw).
b)      Sunnah qawliyah (ucapan Nabi saw).
c)      Sunnah taqririyah (persetujuan atau ketetapan Nabi saw terhadap perkataan atau perbuatan para shahabat).
d)      Sunnah Hammiyah (keinginan Nabi saw yang belum sempat terlaksana).
e)      Sunnah tarkiyah (perbuatan yang ditinggalkan oleh Nabi saw dengan tujuan apapun).
Diduga pembagian di atas merupakan pembagian secara rinci dan pembagian yang lain hanya terdiri dari 2 pembagian, M.Hasbi Ash-Shiddieqy termasuk yang membaginya menjadi dua[2],:
a)      Sunnah fi’liyah: (yakni semua perbuatan, perkataan, persetujuan atau ketetapan dan keinginan Nabi saw)
b)      Sunnah tarkiyah (perbuatan yang ditinggalkan oleh Nabi saw dengan tujuan apapun)
Pembagian ini dipandangan dari segi applikasinya. dalam sunnah fi’liyah sudah termasuk di dalamnya sunnah qawliyah, hammiyah dan taqririyah, adapun yang membagi[3] 3:
a)      Sunnah fi’liyah (perbuatan Nabi saw).
b)      Sunnah qawliyah (ucapan Nabi saw).
c)      Sunnah taqririyah (persetujuan atau ketetapan Nabi saw terhadap perkataan atau perbuatan para shahabat).
Sunnah hammiyah dan tarkiyah termasuk didalamnya sunnah fi’liyah.

B.     Sunnah Fi’liyah
a.       Defenisi Fi’liyah
Fi'liyah merupakan ism mashdar dari فعل  yang dalam lisan Al-'arab berarti kata kiasan untuk segala bentuk perbuatan, kemudian dibubuhi ي an-nisbah sehingga dinisbahkan kepada sunnah yang berarti sunnah-sunnah yang sifatnya berupa perbuatan.[4]
Sunnah menurut istilah muhadds\i>n  adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, persetujuan (atas perbuatan shahabat), keinginan, dan sifat, baik fisik ataupun kepribadian dan perjalanan hidup, baik sebelum diutus (sebagai rasul) atau sesudahnya.[5]
Karena yang dibahas dalam makalah ini hanya sunnah fi’liyah dan tarkiyah maka defenisi yang dicantumkan di atas defenisi istilah muhadds\i>n, dalam defenisi ini pula sudah membahas cakupannya.
C.       Sunnah tarkiyah
a.       Defenisi Sunnah Tarkiyah
Tarkiyyah merupakan ism mashdar dari ترك  yang dalam lisan Al-'arab berarti meninggalkan sesuatu, Tarkiyah dengan ي an-nisbah dinisbahkan ke kata sunnah berarti Sunnah yang sifatnya berupa meninggalkan suatu perbuatan[6].
b.      Bagaimana Mengetahui Sunnah Tarkiyah
Ada dua cara mengetahui sunnah tarkiyah[7] :
·         Penjelasan sahabat bahwa Nabi saw meninggalkan perbuatan tertentu, contoh: Nabi saw tidak melakukan adzan dan iqamat ketika shalat ‘Idain
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ. قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى وَحَدِيثُ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَغَيْرِهِمْ أَنَّهُ لاَ يُؤَذَّنُ لِصَلاَةِ الْعِيدَيْنِ وَلاَ لِشَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ.[8]
·         Sahabat tidak meriwayatkan sunnah tersebut,
c.       Sebab-Sebab Sunnah Tarkiyah
1.      Meninggalkan sesuatu yang haram.
2.      Meninggalkan sesuatu yang tidak disukai dalam rangka pensyariatan contoh: Nabi saw tidak bersalaman dengan para sahabiyah ketika baiat.[9]
3.      Meninggalkan sesuatu yang tidak disukai karena tabiat beliau semata, jenis tarkiyah poin ketiga ini bukan sesuatu yang disyariatkan bagi umat Islam (tidak ada kaitannya dengan syariat-pen). contoh: hadis enggannya Nabi saw memakan biawak[10]
حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن ابن شهاب عن أبي أمامة بن سهل عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما عن خالد بن الوليد  : أنه دخل مع رسول الله صلى الله عليه و سلم بيت ميمونة فأتي بضب محنوذ فأهوى إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم بيده فقال بعض النسوة أخبروا رسول الله صلى الله عليه و سلم بما يريد أن يأكل فقالوا هو ضب يا رسول الله فرفع يده فقلت أحرام هو يا رسول الله ؟ فقال ( لا ولكن لم يكن بأرض قومي فأجدني أعافه ) . قال خالد فاجتررته فأكلته ورسول الله صلى الله عليه و سلم ينظر.[11]
4.      Meninggalkan sesuatu demi kepentingan orang lain, jenis tarkiyah ini juga tidak disyariatkan, contoh: Nabi saw meninggalkan memakan bawang ketika berkumpul dengan sahabat:[12]
وحدثني أبو الطاهر وحرملة قالا أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب قال حدثني عطاء بن أبي رباح أن جابر بن عبدالله قال ( وفي رواية حرملة وزعم ) أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال  : من أكل ثوما أو بصلا فليعتزلنا أو ليعتزل مسجدنا وليقعد في بيته وإنه أتي بقدر فيه خضرات من بقول فوجد لها ريحا فسأل فأخبر بما فيها من البقول فقال قربوها إلى بعض أصحابه فلما رآه كره أكلها قال كل فإني أناجي من لا تناجي[13]
5.      meninggalkan sesuatu karena khawatir diwajibkan bagi umatnya, sunnah tarkiyah ini hilang kewaspadaan Nabi saw dengan meninggalnya beliau dan terputusnya wahyu, maka boleh di amalkan akan tetapi sebagai pemuka agama atau Ulama’ lebih baik tidak dilaksanakan depan umum agar masyarakat awwam tidak salah sangka akan hukumnya[14], contoh:
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِىُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ مَا سَبَّحَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ وَإِنِّى لأُسَبِّحُهَا وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ.[15]
6.      meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang bagi umatnya, karena beliau ingin sesuatu yang lebih sempurna, ini jenis sunnah tarkiyah yang baik, boleh dikerjakan[16]. Contoh:
دثنا يحيى بن بكر قال حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن عروة عن عائشة  : أن أبا بكر رضي الله عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه و سلم متغش بثوبه[17]
7.      Meninggalkan untuk membalas yang menganiaya, semata-mata untuk kepantingan pribadi, karena beliau memilih yang lebih baik di antara dua hal.[18] Surah al-Syu>ra> ayat 40-43
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ(40) وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ (41) إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (42) وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (43)
“dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah swt. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang yang zalim.(40) dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri setelah teraniaya, tidak ada suatu dosapun atas mereka(41) sesungguhnya dosa tersebut atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak, mereka itu mendapat azab yang pedih(42) tetapi orang yang sabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan”[19]
Sehubungan dengan ayat ini Nabi saw bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ هَدِيَّةُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ الْمَرْوَزِىُّ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ عُبَيْدٍ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَبِى الْعَالِيَةِ عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ لَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ قُتِلَ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعَةُ وَسِتُّونَ رَجُلاً وَمِنَ الْمُهَاجِرِينَ سِتَّةٌ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَئِنْ كَانَ لَنَا يَوْمٌ مِثْلُ هَذَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ لَنُرْبِيَنَّ عَلَيْهِمْ. فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ قَالَ رَجُلٌ لاَ يُعْرَفُ لاَ قُرَيْشَ بَعْدَ الْيَوْمِ. فَنَادَى مُنَادِى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمِنَ الأَسْوَدُ وَالأَبْيَضُ إِلاَّ فُلاَناً وَفُلاَناً. نَاساً سَمَّاهُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى (وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ) فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَصْبِرُ وَلاَ نُعَاقِبُ »[20]
8.      demi mencegah bahaya yang lebih besar.[21]
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلاَّمٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ أَنْبَأَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ رُومَانَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لَهَا « يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ وَأَلْزَقْتُهُ بِالأَرْضِ وَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ بَابًا شَرْقِيًّا وَبَابًا غَرْبِيًّا فَإِنَّهُمْ قَدْ عَجَزُوا عَنْ بِنَائِهِ فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ». قَالَ فَذَلِكَ الَّذِى حَمَلَ ابْنَ الزُّبَيْرِ عَلَى هَدْمِهِ. قَالَ يَزِيدُ وَقَدْ شَهِدْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ حِينَ هَدَمَهُ وَبَنَاهُ وَأَدْخَلَ فِيهِ مِنَ الْحِجْرِ وَقَدْ رَأَيْتُ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِجَارَةً كَأَسْنِمَةِ الإِبِلِ مُتَلاَحِكَةً.[22]
d.      Hukum Sunnah Tarkiyah
Bagaimana menanggapi sunnah tarkiyah ini tergantung bagaiamana seseorang menanggapi defenisi sunnah, ketika berpegangan dengan defenisi yang diberikan Ulama’ hadis maka semua yang disebut dalam sebab-sebab Nabi saw meninggalkan suatu perbuatan termasuk sunnah tarkiyah.
Adapun ketika berpegangan pada sunnah yang didefenisikan Ulama’ fiqhi, maka yang tidak berhubungan dengan hukum tidak termasuk sunnah tarkiyah, begitu juga dengan menurut Ulama’ us{ul yang tidak berkaitan dengan dalil maka tidak dianggap sunnah tarkiyah.
e.       Pengecualian Sunnah Tarkiyah
Sesuai dengan namanya “sunnah tarkiyah” maka sesuatu yang ditinggalkan Nabi saw pun harus ditinggalkan[23], kecuali[24]:
·         Nabi saw meninggalkan bukan atas dasar tabiat beliau, seperti contoh memakan biawak di atas, tidak apa memakan biawak.
·         Mempunyai tujuan tertentu. Contoh Nabi saw meninngalkan shalat malam ketika Ramadhan kaarna takut disangka wajib.
·         Tanpa sengaja contoh Nabi saw tanpa sengaja meninggalkan pengumpulan al-Qur’an.
·         Tidak adanya penghalang dalam meninggalkan suatu perkara tersebut, contoh : ketika Nabi saw meninggalkan ‘umrah karena terhalangi oleh kaum kafir yang menyebabkan terjadinya perjanjian Hudaibiyah.[25]
·         Bukan dalam hal ibadah, makanya sebagian ulama’ fiqhi menambahkan defenisi sunnah tarkiyah dengan dengan tujuan ibadah.[26]
berikut hadis yang berkaitan mengenai pengecualian di atas:
حدثنا سعيد بن أبي مريم أخبرنا محمد بن جعفر أخبرنا حميد ابن أبي حميد الطويل : أنه سمع أنس بن مالك رضي الله عنه يقول جاء ثلاث رهط إلى بيوت أزواج النبي صلى الله عليه و سلم يسألون عن عبادة النبي صلى الله عليه و سلم فلما أخبروا كأنهم تقالوها فقالوا أين نحن من النبي صلى الله عليه و سلم ؟ قد غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أما أنا فإني أصلي الليل أبدا وقال آخر أنا أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ( أنتم الذين قلتم كذا وكذا ؟ أما والله أتي لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني )[27]










BAB III
PENUTUP
A.    Implikasi
Sederhananya defenisi sunnah fi’liyah adalah segala macam bentuk perbuatan Nabi saw yang telah dikerjakan atau masih berupa keinginan Nabi saw baik itu berupa perintah ataupun larangan.
Sedangkan sunnah tarkiyah ialah segala macam perbuatan yang ditinggalkan Nabi saw baik itu yang bersifat tabiat Nabi saw atau bersifat hukum.
Menanggapi sunnah tarkiyah tidak semuanya harus ditinggalkan, sunnah tarkiyah yang bersifat tabiat Nabi saw Misalnya barang siapa yang ingin memakan Biawak maka silahkan saja. Sunnah tarkiyah yang harus ditinggalkan adalah yang berhubungan ibadah sebagaimana yang dipaparkan ulama fiqhi.

B.     Kritik dan Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi metode penulisannya ataupun metode penyusunannya, maka dari itu penyusun sangat berharap kritikan dari pembaca yang budiman.




DAFTAR PUSTAKA
Abu> Dau>d, Sulaima>n bin Asy’a >>s\, Sunan Abu> Dau>d, juz I, Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1346 H.
Ah}mad bin Muhammad bin H{ambal, Musnad Ah}mad, juz V, Bairu<t: ‘A<lam al-Kutub,1419 H.
Arsyif Multaqa> ahlu al-H{adi>s\ 5, juz I
Asse, Ambo, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi saw, cet. I, Makassar: Da>r al-Hikmah wa al-‘Ulu>m, 2010, t.th.
-Bukha>ry, Muh}ammad bin Isma>’i>l, s}ah}i>h} al-Bukha>ry, Juz V, Bairu>t: Da>r Ibn Kas\i>r, 1987.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1996.
Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab, juz II, Bairu>t: Da>r al-S{a>dir, t.th.
Al-Judai’, ‘Abdullah bin Yusu>f, Taisi>r ‘Ilmu us}u>l al-Fiqhi, Juz I, Bairu>t: Muassisah al-Risa>lah, t.th.
Al-Naisabu>ri, Muslim bin Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, Juz I, Bairu>t: Da>r al-Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Araby, t.th.
Al-Nasa’I, Ah}mad bin Syu’aib,Sunan al-Nasa’I Juz IX, Bairut: Da>r al-Ma’rifah,1991.
Al-Qa>simy, Muhammad jama>l al-Di>n, Qawa>’id al-Tah}dis\ Min Funu>n Mus}t}alah} al-H{adi>s\, 1353 H.
Qawa>’id Ma’rifah al-Bid’I juz I. t.th
Al-S}a>lih, Al-Muji>b ‘Abd al-Ila>h bin Sa’ad}, Fata>wa> min Mawqi’I al-Isla>m al-Yawm, juz I,1427,
Al-Shiddieqy, M.Hasbi, Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah, Jakarta: Bulan bintang, 1974.
Al-Syuh}u>d, ‘Ali bin Ta>yif, Mausu>’ah al-Difa>’ ‘An Rasulillah S}allallahu ‘Alahi Wa Sallam . juz VII t.th
Al-Tirmiz\i, Muh}ammad bin ‘I<sa>, Sunan al-Tirmiz\i> Juz II, Bairu>t: Da>r al-Ih}ya’ al-Tura>s\ al-‘Araby, t.th.


[1]‘Ali bin Ta>yif al-Syuh}u>d, Mausu>’ah al-Difa>’ ‘An Rasulillah S}allallahu ‘Alahi Wa Sallam . juz VII H. 148
[2] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta: Bulan bintang), 1974 hal 21
[3]Ambo Asse. Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi saw, cet. I (Makassar: Da>r al-Hikmah wa al-‘Ulu>m:)2010, h.30-32
[4] Ibn Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab, (Bairu>t: Da>r al-S{a>dir) juz II, h.58
[5] Muhammad jama>l al-Di>n al-Qa>simy, Qawa>’id al-Tah}dis\ Min Funu>n Mus}t}alah} al-H{adi>s\, 1353. hal. 61
[6] Ibn Manz}u>r. Ibid juz XX h.405
[7]Qawa>’id Ma’rifah al-Bid’I juz I h.32
[8]Muh}ammad bin ‘I<sa> al-Tirmiz\i, Sunan al-Tirmiz\i> (Bairu>t: Da>r al-Ih}ya’ al-Tura>s\ al-‘Araby) t.th. Juz II, h. 412
[9]‘Abdullah bin Yusu>f al-Judai’, Taisi>r ‘Ilmu us}u>l al-Fiqhi, (Bairu>t: Muassisah al-Risa>lah) t.th. Juz I h.131
[10] ‘Abdullah bin Yusu>f al-Judai’, Ibid h.132
[11] Muh}ammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ry, s}ah}i>h} al-Bukha>ry (Bairu>t: Da>r Ibn Kas\i>r) 1987. Juz V, h.2105
[12] ‘Abdullah bin Yusu>f al-Judai’,Op.cit 
[13] Muslim bin Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, (Bairu>t: Da>r al-Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Araby)t.th. Juz I h.394
[14] ‘Abdullah bin Yusu>f al-Judai’, Op.cit  h.313
[15]Sulaima>n bin Asy’a>>s\ Abu> Dau>d, Sunan Abu> Dau>d (bairu>t: Da>r al-Fikr)1346 H. juz I h.413
[16] ‘Abdullah bin Yusu>f al-Judai’,Op.cit.
[17] Muh}ammad bin ‘Isma>’i>l al-Bukha>ry, Op.cit juz I h.335
[18] ‘Abdullah bin Yusu>f al-Judai’, Op.cit. h.314
[19] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahannya.(Semarang: Toha Putra, 1996), h.389
[20] Ah}mad bin Muhammad bin H{ambal, Musnad Ah}mad, (Bairu<t: ‘A<lam al-Kutub)1419 H. juz V h.135
[21]‘Abdullah bin Yusu>f al-Judai’, Op.cit h.135
[22] Ah}mad bin Syu’aib al-Nasa’I,Sunan al-Nasa’I (Bairut: Da>r al-Ma’rifah)1991. Juz IX, h.402
[23] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Op.cit.
[24] Al-Muji>b ‘Abd al-Ila>h bin Sa’ad al-S}a>lih}, Fata>wa> min Mawqi’I al-Isla>m al-Yawm,1427,juz I, h.281
[25]Ibid
[26]Arsyif Multaqa> ahlu al-H{adi>s\ 5, juz I h.16453
[27] Al-Bukha>ry, Op.cit. juz V h.1949

Tidak ada komentar:

Posting Komentar